Cerpen



Di Atas Tanah yang Sama
Karya : Yuni Nur Kholifah

“Apa tekadmu sudah bulat, Nak ?” tanya sang ibu seusai sholat ashar.
“Tekadku sudah bulat, Bu. Bagaimanapun hati ini sudah ada disana” melipat sajadah yang usai dipakainya.
“Ibu ingin kamu tetap disini menemani ibu. Bersama ibu di desa ini. Tua bersama ibu, dan meninggal juga di desa ini” membelai wajah anaknya dengan penuh kasih sayang.
“Tapi bu hatiku sudah ada disana berperang dengan beribu rakyat dan........” ucapannya terpotong saat ia mulai melihat titik demi titik air mata ibunya terjatuh.
          Siluet senja menjadi saksi harapan manis Usman. Rona merah senja mewakili hati Usman dan hati ibunya yang mengilu pada perang batin yang nyata. Entah kapan Usman dapat menjadi bagian dari mereka, merasakan sakit darah yang mengucur dan berjuang bersama kaki-kaki kecil yang malang diantara mencuatnya bom-bom nuklir kematian.
********
Lir ilir lir ilir
Tandure wis sumilir
Tak ijo royo royo tak senggo temanten anyar
Cah angon cah angon penekno blimbing kuwi
Lunyu lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro dodotiro kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore
.............
          Seringai sinar mentari pagi mengantarkan mimpi-mimpi indah pada setiap lakonnya. Ada duka, ada suka yang mengalun menjadi harmoni kehidupan. Ada manusia yang bernapas dalam hidupnya dan ada manusia yang bernapas dalam mimpinya. Tapi, bagi makhluk yang bernama manusia yang selalu ia nanti setiap pagi adalah bertemu embun pagi yang ceria dan mendekap kehangatan pagi. Begitupun dengan Usman yang masih setia menjemput pagi dengan dzikir panjangnya.
          “Buk...!!!” Dzikir paginya tiba-tiba terhenti saat sebuah bukunya terjatuh dari rak buku yang berada tepat di samping tempatnya duduk. Sontak ia mengambil buku yang terjatuh itu. Di bukanya lembar pertama dan tertulis lirik lagu jawa “Lir ilir”. Ingatannya melayang ke masa lalunya yang indah. Suara merdu ibunya kembali terngiang saat menyanyikan lagu lir ilir sebagai pengantar tidurnya. Sembari melantunkan lagu lir ilir, ia membolak balik lembar demi lembar. Kemudian sebuah kertas terjatuh, ia pun berhenti bernyanyi dan membuka pelan pelan kertas itu dan ia pun mulai mengeja kata demi kata yang tertulis.
Aku telah berada dalam dekapanmu, Bu. Berada dalam air matamu. Berada dalam senyumanmu. Dan berada di atas tanah yang sama.
          Ada warna abu-abu di bola matanya. Itu adalah tulisan tangannya semenjak ia mulai mengimpikan negeri itu. Tapi, tak pernah sempat ia melihat pelangi di atas mimpinya.
“Sedang apa kamu, Nak?” terlihat dua bola mata sayu menatap tubuh gagah Usman.
“Ndak apa-apa, Bu. Cuma membaca tulisan-tulisan lama yang sudah mulai usang. Bu, Usman mau bicara penting.”
“Bicara apa, Nak? apa tentang masalah kemarin?” ibunya mencoba meraba pikiran Usman.
“Iya bu, aku ingin segera kesana. Pergi bersama mimpi-mimpi dan keinginan hatiku, Bu. Apa ibu mengizinkanku pergi?”
“Sudah sebulat itukah tekadmu anakku?. Ibu ingin kamu menemani ibu saja. Ibumu sudah tua, hanya punya satu anak. Apakah anak semata wayangnya tega meninggalkan ibunya hidup sebatangkara ?. Tinggal di desa lebih damai. Tanpa ada perang disana sini. Ibu ingin kamu tetap tinggal disini bersama ibu, bukan ikut berperang ke Palestina. Ibu ingi melihatmu menikah dan mempunyai anak cucu disini, di tempat ini bersama ibu, bukan di Palestina.” Suara isak tangis mendominasi udara di ruang itu.
          Usman yang sedari tadi tak dapat berkata-kata hanya mampu tertunduk, bibirnya mengatup, dan hatinya menganga menahan rasa sakit. Tapi, keputusannya sudah bulat, ia akan pergi ke Palestina berperang melawan tentara zionis demi Dzat yang telah menciptakannya dan demi agama yang dipeluknya.
......................bersambung...............................

silahkan komentar untuk cerita lanjutannya. terimakasih :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tembang Macapat "dandanggula dan Pucung"

Gangguan dan Kelainan pada Manusia

TES BAHAN MAKANAN