Mocoan Lontar



“Mocoan lontar” merupakan salah satu tradisi yang berada di Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi. “Mocoan lontar” dalam pelaksanaannya ada tiga bagian, yaitu pembukaan, inti dan penutup. Tradisi ini diadakan dalam berbagai acara seperti, “mitoni”, kelahiran, khitanan, pernikahan, dan dijadikan muatan lokal untuk tingkat sekolah.
Moral adalah suatu ajaran baik dan buruk maupun kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita. Nilai moral yang terkandung dalam tradisi “mocoan lontar” yaitu nilai kerukunan, nilai gotong royong, nilai keadilan, nilai persatuan dan nilai religi. Upaya melestarikan tradisi “mocoan lontar” agar tidak punah yaitu dengan cara pelatihan-pelatihan baik di masyarakat Desa Kemiren maupun di sekolah-sekolah yang ada di Kabupaten Banyuwangi. Dinas pariwisata dan kebudayaan Kabupaten Banyuwangi juga mempunyai program dalam melestarikan tradisi “mocoan lontar”, yaitu dengan cara bekerja sama dengan masyarakat Desa Kemiren untuk mengadakan pelatihan “mocoan lontar”, pelatihan tersebut dilakukan supaya tetap terjaga kelestarian tradisi tersebut.
Asal-usul tradisi “mocoan lontar” yaitu tidak diketahui dengan pasti namun yang jelas sejak para wali menyebarkan Agama Islam di Banyuwangi, Pelaksanaan tradisi “mocoan lontar” yaitu digelar secara rutin setiap minggu dan pada waktu hajatan masyarakat. Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi “mocoan lontar” yaitu nilai kerukunan, nilai gotong royong, nilai keadilan, nilai persatuan dan nilai religi. Upaya melestarikan “mocoan lontar” yaitu Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan Dinas pariwisata dan kebudayaan Kabupaten Banyuwangi bekerja sama dengan masyarakat Desa Kemiren untuk mengadakan pelatihan di desa tersebut supaya tetap terjaga kelestariannya. Dapat disarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut misalnya masyarakat lebih mengerti tentang kandungan makna yang terdapat dalam setiap tradisi yang dimiliki oleh Kabupaten Banyuwangi dan cara menjaga, melestarikan tradisi daerah secara berkelanjutan supaya tidak tergilas oleh arus globalisasi.

B.   Melestarikan Tradisi Mocoan Lontar di Desa Kemiren


Melestarikan Tradisi Mocoan Lontar di Desa Kemiren Masih Didominasi Lelaki, Jarang Pembaca Perempuan Tradisi moco lontar tak sekadar alat untuk menyebarkan ajaran Islam. Moco lontar ternyata juga merupakan kesenian yang sarat makna.
Banyak orang yang mungkin masih asing dengan mocoan lontar. Sebab, di masa sekarang, peminat kegiatan ini semakin jarang. Ratusan tahun lalu, mocoan lontar merupakan sebuah kegiatan yang banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Tidak terkecuali, dilakukan masyarakat Banyuwangi.
Namun, masih ada sejumlah masyarakat yang ternyata peduli keberadaan kesenian tersebut. Segelintir orang inilah yang berusaha menghidupkan kembali tradisi yang sudah mulai punah itu. Beberapa daerah di Banyuwangi memiliki komunitas mocoan agar kesenian ini terus hidup di tengah masyarakat. Salah satunya adalah komunitas mocoan di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah.
Bulan Februari 2010 ini sedang berlangsung pelatihan mocoan selama delapan hari berturut-turut. Latihan mocoan itu berlangsung sejak tanggal 17 hingga 24 Februari 2010. Pelatihan itu bertujuan untuk melestarikan kebudayaan di Banyuwangi. Pelatihan ini sudah dilaksanakan selama dua tahun berturut-turut di Desa Kemiren. Pelatihan itu biasanya dimulai pukul 19.00 sampai 23.00. Sesekali, acara tersebut baru selesai pada tengah malam. Kali ini, peserta pelatihan berjumlah 15 orang. Semua peserta tercatat sebagai warga Desa Kemiren.
Peserta pelatihan mocoan itu sama sekali tidak dipungut biaya. Mereka yang berminat, tinggal datang ke rumah Purwadi. Meski begitu, peminat kesenian yang satu ini pun masih terbatas. Sementara itu, lontar di Banyuwangi tidaklah sedikit. Tetapi, yang biasa dibaca oleh warga Desa Kemiren adalah Lontar Yusuf. Moco lontar diyakini oleh masyarakat mengandung hal-hal yang magis. Ada doa dan mantra tertentu dalam setiap lontar. Oleh karena itu, lontar sering dibaca pada momen tertentu sebagai doa. Salah satunya, lontar Yusuf yang sering dibaca pada acara pernikahan, khitanan, dan acara lain. Ada juga Lontar Ahmad yang biasa dibaca pada acara melahirkan. Masyarakat meyakini, Lontar Ahmad dapat berfungsi sebagai doa untuk menolak musibah dan kesialan.
Di Desa Kemiren, kelompok mocoan dibagi menjadi dua, yaitu kelompok Reboan dan Saptuan. Menurut Purwadi, sebenarnya banyak daerah yang memiliki kelompok mocoan lontar, misalnya Desa Tamansuruh, Desa Kampung Anyar, Desa Glagah, Desa Bakungan, termasuk wilayah Kecamatan Songgon. Namun, basis mocoan lontar terbanyak memang di Kecamatan Glagah.
Selama ini, mocoan lontar memang banyak dilakukan oleh kaum lelaki. Padahal, tidak ada aturan yang melarang kaum perempuan untuk ikut mocoan. Menurut Purwadi, hal ini mungkin disebabkan oleh kesibukan kaum perempuan dalam mengurus rumah tangga. Sementara itu, mocoan lontar juga dijadikan sebagai muatan lokal di SMA Negeri 1 Glagah.
Membaca lontar memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Pasalnya tulisan pada lontar menggunakan hurup Arab, sedangkan bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa kuno. Cengkok atau lagu yang digunakan adalah tembang khas Desa Kemiren, yaitu cengkok bahasa Using. Oleh karena itu, Purwadi sangat salut kepada para pembaca lontar.
Selama pelatihan tersebut, peserta tidak hanya diajarkan cara membaca lontar. Peserta juga diajarkan cara melantunkannya menggunakan cengkok bahasa Using. Tenaga pengajarnya adalah warga-warga senior di Desa Kemiren yang memang memiliki kemampuan membaca lontar. Mereka dengan sukarela datang membagikan ilmu membaca lontar setiap hari. Menurut Purwadi, tenaga pengajar ini tidak memperoleh bayaran atau imbalan.
Seorang pengajar mocoan lontar, Sutaman pria berusia 60 tahun, mengaku sudah mampu membaca lontar sejak 25 tahun lalu. Sutaman mengaku ikut kelompok mocoan lontar Reboan di Kemiren. Dia merasa terpanggil karena selama ini memang senang membaca lontar. Hal senada juga diungkapkan oleh Awang Setya Kiaji, anggota termuda kelompok mocoan lontar di Desa Kemiren. Siswa kelas 4 SDN 1 Kemiren itu sudah mampu menguasai seni moco lontar. Bocah berumur sepuluh tahun itu sudah belajar moco lontar sejak tahun 2009. Gurunya adalah ayahnya sendiri, yaitu Adi Purwadi.
Awang memulai kegiatan itu karena iseng membaca lontar milik ayahnya. Lantaran senang, akhirnya dia semangat untuk belajar. Dia mengakui, moco lontar itu awalnya sangat sulit. Namun, ketika sudah terbiasa, dia justru merasa senang. Menurut Purwadi, jarangnya peminat mocoan dikarenakan kegiatan itu murni kesenian, tanpa ada keuntungan materi. Meski jumlah peminat mocoan lontar semakin berkurang, dia berharap dapat melestarikan tradisi tersebut. Mocoan lontar merupakan salah satu kebudayaan Banyuwangi yang harus dilestarikan. Dia berharap, pelatihan semacam itu dapat diadakan lagi. Sehingga, mocoan lontar dapat bertahan turun-temurun.

C.   Mocoan Lontar Yusuf


Selama ini, tradisi yang berusia ratusan tahun itu nyaris tanpa regenerasi. Hanya lelaki usia di atas 50 tahun yang mampu membaca Lontar Yusuf, yang berisi kisah Nabi Yusuf. Dinamakan Lontar Yusuf karena sebelum ada kertas, kisah Nabi Yusuf itu ditulis di daun lontar. Tidak ada yang tahu sejak kapan tradisi ini mulai dilakukan masyarakat Kemiren. Diperkirakan, kesenian ini muncul saat agama Islam masuk ke Banyuwangi sekitar abad ke-XVIII.
Lontar Yusuf tersusun atas empat bagian (pupuh), yang masing-masing bercerita tentang kehidupan Nabi Yusuf, yakni soal asmara (kasmaran), doa-doa (durma), alam dan kehidupan Yusuf (terutama saat dinobatkan menjadi raja), dan saat Yusuf berada dalam penjara (sinom).
Menurut Purwadi, tradisi ini dilestarikan sebagai sarana berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Masyarakat berharap kisah-kisah dalam lontar terjadi dalam kehidupan nyata mereka. Dalam hajatan perkawinan, misalnya, pasangan pengantin berharap bisa rukun dan bahagia hingga akhir hayat sebagaimana keluarga Nabi Yusuf.
Bila seorang anak lahir, wajah dan tabiatnya diharapkan seperti Nabi Yusuf. Orang tua yang mengkhitankan anaknya berharap si anak tidak merasakan sakit sebagaimana para istri raja tidak menyadari jari-jari mereka teriris pisau lantaran terpana saat menatap Nabi Yusuf yang rupawan.
Salah satu contoh “mocoan lontar yusuf”  yaitu:
·         Menggunakan tembang sinom
wonten sih ceritaniro
bagindo musekun nenggeh
sapucapaning yang manon
ing luhur tursineng
            uni ananedeng yang widi
            ayunaningali wau
            ing siro sang yang manon
            muwahayananireng
tur ing luhur adi
tursino mengkono

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tembang Macapat "dandanggula dan Pucung"

Gangguan dan Kelainan pada Manusia

TES BAHAN MAKANAN